KamparUpdate.com – Kesehatan mental masyarakat di daerah terpencil masih menjadi isu yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Berbagai hambatan geografis, demografis, dan sosio-kultural menyebabkan sulitnya akses layanan kesehatan mental bagi masyarakat di wilayah terpencil (Bruckner et al., 2011). Masalah ini diperburuk dengan masih tingginya tingkat stigma di masyarakat terhadap orang dengan gangguan mental, yang menyebabkan ketidakmauan mencari pertolongan profesional (Corrigan et al., 2014).
Minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental ini ironis mengingat prevalensi gangguan mental di kalangan penduduk desa terpencil ditemukan cukup tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan tingginya angka depresi, bunuh diri, dan gangguan mental lainnya di populasi pedesaan (Smalley et al., 2010; Hirsch, 2006). Oleh karena itu, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental penting dilakukan untuk mengatasi persoalan ini.
Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara tingkat stigma dan ketersediaan fasilitas layanan kesehatan mental dengan tingkat akses masyarakat desa terhadap layanan tersebut. Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan rekomendasi kebijakan konkret untuk mengatasi persoalan stigma dan keterbatasan akses layanan kesehatan mental bagi masyarakat di daerah terpencil.
Jean Piaget, seorang ahli psikologi yang terkenal karena penelitiannya dalam perkembangan kognitif anak-anak, tidak secara khusus membahas stigma dalam karyanya. Namun, pendekatan kognitif Piaget dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana individu, termasuk anak-anak, memproses dan mengorganisir informasi.
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak-anak melalui serangkaian tahap perkembangan kognitif yang membentuk cara mereka memahami dan menginterpretasikan dunia. Ini mencakup tahap sensorimotor, praoperasional, konkret operasional, dan formal operasional.
Dalam konteks stigma, pemahaman kognitif individu dapat memainkan peran dalam pembentukan dan pemeliharaan stereotipe serta pengaruh perilaku sosial terhadap individu atau kelompok tertentu. Misalnya, pada tahap praoperasional, anak-anak mungkin cenderung memiliki pemahaman yang sederhana dan sering kali berasumsi tentang kelompok tertentu berdasarkan informasi yang terbatas.
Meskipun Piaget sendiri tidak secara khusus membahas stigma, konsepnya tentang perkembangan kognitif dapat memberikan wawasan tentang bagaimana individu, terutama anak-anak, memproses informasi sosial dan mungkin membentuk pemikiran atau keyakinan tentang kelompok tertentu, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi dinamika stigma.
Terdapat beberapa konsep dalam teori perkembangan kognitif Piaget dengan masalah ini. Misalnya, dalam tahap operasi konkret, Piaget menyatakan bahwa anak-anak mulai menggunakan logika dan pemahaman konkrit untuk memahami dunia mereka. Dalam konteks akses terhadap layanan kesehatan mental di daerah terpencil, orang mungkin memiliki pemahaman yang terbatas tentang ketersediaan layanan atau cara mengaksesnya, karena faktor-faktor geografis, ekonomi, atau sosial yang membatasi akses tersebut.
Selain itu, dalam tahap formal operasional, individu mulai menggunakan pemikiran abstrak dan konseptual yang lebih rumit. Dalam konteks stigma terhadap kesehatan mental, orang mungkin menginternalisasi stereotipe dan prasangka yang ada dalam masyarakat mereka, yang dapat mempengaruhi persepsi mereka tentang masalah kesehatan mental dan menciptakan hambatan psikologis dalam mencari bantuan.
Menganalisa yang terjadi di Desa Padawaras Kecamatan Cipatujuh Kabupaten Tasikmalaya. Desa wilayah selatan Tasikmalaya ini, konon sejak dulu selalu saja ada warganya yang menderita penyakit gangguan jiwa. Pak Yayan selaku kepala Desa Padawaras mengaku selama ini berusaha mencari cara untuk mengobati warganya itu. “Pernah ada program bantuan, saya kira gratis.. Yang sakit ini saya bawa ke RSJ Cisarua Bandung Barat eh tahunya ada tagihan ke desa Rp 15 juta, aduh bingung saya. Sampai sekarang belum dibayar, pasiennya juga belum sembuh,” ucap Pak Yayan.
Mengenai penyebab atau latar belakang warga yang mengalami gangguan jiwa, Yayan menjelaskan alasannya beragam. Mulai dari masalah ekonomi, putus asa, terobsesi dan lain-lain. “Ya macam-macam, ada yang putus asa karena bercerai, ada juga yang punya keinginan tapi tak kesampaian,” kata Yayan.
Yayan berharap ada bantuan pemerintah yang bisa menyembuhkan warganya. Tapi dengan pola pengobatan yang komprehensif. “Ya harapannya ada bantuan pengobatan yang tuntas. Walau pun memang saya akui banyak kendala, bahkan untuk sekedar mengantar ke rumah sakit saja terkadang repot, jauh harus ke Bandung,” kata Yayan.
Berdasarkan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa Desa Padawaras memiliki masalah keterbatasan layanan kesehatan mental dan tingginya Stigma masyarakat tentang gangguan mental. Hal tersebut tentunya membutuhkan penanganan yang serius dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Berikut beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk persoalan kasus tersebut diantaranya :
1. Dukungan Pemerintah Daerah : Mendorong pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran dan sumber daya guna mendukung program kesehatan mental di daerah terpencil.
2. Kerjasama dengan LSM : Melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada kesehatan mental untuk menyediakan layanan dan dukungan di daerah terpencil.
3. Kerjasama dengan Lembaga Internasional : Menggandeng lembaga internasional atau organisasi kesehatan dunia untuk mendukung program kesehatan mental di daerah terpencil.
4. Penggunaan Teknologi Terjangkau : Menggunakan teknologi terjangkau seperti telepon pintar dengan aplikasi kesehatan mental, yang dapat diakses oleh masyarakat di daerah terpencil.
5. Pendidikan Kader Kesehatan : Memberdayakan kader kesehatan lokal melalui pelatihan dan edukasi untuk memberikan dukungan kesehatan mental dasar di komunitas mereka.
6. Dukungan dari Profesional Kesehatan : Menggandeng tenaga profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater, untuk memberikan layanan konsultasi atau pelatihan kepada tenaga kesehatan lokal di daerah terpencil.
7. Program Pembangunan Infrastruktur : Melibatkan program pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan aksesibilitas ke daerah terpencil, seperti jalan raya dan telekomunikasi yang memadai.
8. Pendidikan Masyarakat : Melibatkan masyarakat dalam program pendidikan kesehatan mental untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang kesehatan mental dan mengurangi stigmatisasi.
9. Pengembangan Layanan Kesehatan Primer : Mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam layanan kesehatan primer di pusat kesehatan masyarakat di daerah terpencil.
10. Survei dan Penelitian Lokal : Melakukan survei dan penelitian untuk memahami kebutuhan kesehatan mental secara khusus di daerah terpencil, sehingga program yang diimplementasikan dapat disesuaikan dengan kondisi lokal.
Kesimpulan mengenai stigma dan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan mental di daerah terpencil adalah bahwa stigma sosial masih menjadi hambatan utama dalam mengakses layanan kesehatan mental di komunitas-komunitas tersebut. Faktor geografis, ekonomi, dan kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental turut menyulitkan aksesibilitas terhadap perawatan yang memadai. Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal untuk mengatasi stigma, meningkatkan pemahaman, dan menciptakan solusi inovatif guna meningkatkan akses dan pelayanan kesehatan mental di daerah terpencil. Sumber daya ini dapat bersumber dari anggaran pemerintah, donasi, dana bantuan internasional, serta kolaborasi antara sektor pemerintah, non-pemerintah, dan sektor swasta.
Referensi
bruckner, T.A, scheffler, R.M, shen, G., . . . S. (2011). the mental health workforce gap in low- and middle income countries: a needs-based approach. bulletin of the world health, 184-194.
corrigan, P.W, Druss, B.G, Perlick, & D.A. (2014). The impact of mental illnes stigma on seeking and participating in mental health care. psychological science in the public interest, 15(2), 37-70.
piaget, J. (1969). The mechanisme of percection.
Penulis : Puti Febrina Niko, M. Psi, Psikolog, Muhammad Iqbal Albuchori, Nazwa Nataya Salsabil, Rhanisa Adininda